6 Apr 2012

Home » » Kami Bukan Penata Buku tapi Kami adalah Pustakawan

Kami Bukan Penata Buku tapi Kami adalah Pustakawan

“Barangsiapa yang mencuri buku ini dari pemiliknya, atau meminjam dan tidak mengembalikannya..semoga dia menderita kelumpuhan, dan seluruh anggota badannya hancur. Semoga cacing menggerogoti isi perutnya, dan ketika akhirnya dia menerima hukumannya yang terakhir, semoga api neraka membakarnya untuk selama-lamanya.” Kutipan yang berasal dari kutukan dalam manuskrip abad pertengahan dari Biara San Pedro Barcelona ini, menunjukkan bahwa sejak dulu, buku atau manuskrip, atau catatan adalah harta yang berharga.

Di perpustakaan-perpustakaan yang memiliki koleksi-koleksi kuno, sudah terbiasa dengan para pustakawan. Orang-orang yang mendedikasikan hidupnya untuk menjaga, merawat, mengelola koleksi perpustakaan. Baik itu majalah, buku, naskah kuno, manuskrip, dan catatan-catatan penting.

Menjaga ribuan buku, naskah, dan catatan agar tetap awet sehingga bisa terus mentransfer ilmu pengetahuan bukan hal yang mudah. Seperti pepatah the right man in the right place, begitulah tugas seorang pustakawan di perpustakaan. Mereka tidak asal menata, mendata, dan menjaga buku. Semua ada ilmunya, bahkan hingga jenjang pasca sarjana.

Alasan itulah yang membuat Tri Lestari Megaminingsih menikmati profesinya sebagai pustakawan. Menikmati bercengkrama dengan ribuan buku yang berjajar rapi. Mencium wangi kertas, sampai mengakrabi debu di antara buku-buku.tak tanggung-tanggung sudah hampir tiga dasawarsa dia menjadi seorang pustakawan. Tepatnya 29 tahun sejak pertama kali menjadi PNS di lingkungan Universitas Jember.

Tahun 1982 adalah awal segalanya. Ketika itu, iu tiga orang anak asli Jember ini ditempatkan di perpustakaan Unej sebagai staf perpustakaan. Ketika itu dia memang belum menjadi seorang pustakawan. Baru setelah itu, dia mendapat kesempatan mengikuti pendidikan tentang perpustakaan di jenjang strata satu. Saat itu, dia sendiri sudah meraih gelar sarjana dari Jurusan FISIP Unej.

“Setelah itu saya melanjutkan ke jenjang S 2,” katanya. Kini, dia disebut sebagai pustakawan ahli. Yakni, pustakawan yang telah menempuh pendidikan S 1 dan S 2. Sedangkan pustakawan terampil adalah pustakawan yang baru menempuh pendidikan diploma.

Bukan hal mudah menjadi seorang pustakawan selama 29 tahun. Tri Lestari telah merasakan suka dan duka bercengkrama bersama buku-buku dan naskah kuno. Di antara sekian banyak hal yang membuat buku atau koleksi perpustakaan menjadi rusak, mahasiswa dianggapnya sebagai musuh terbesar.

Bukan lelucon tentu saja. Karena masih banyak mahasiswa yang kurang menyayangi buku. Mereka menganggap buku hanya sekadar kumpulan kalimat atau paragraph. Mereka tak pernah berusaha memahami bahwa buku adalah sumber ilmu pengetahuan. Bahwa buku layak diperlakukan dengan baik. “Tapi, banyak dari mereka yang menyobek lembaran buku, mencoret-coret, bahkan mencuri,” katanya.

Prihatin itu pasti. Sebagai pustakawan, bersama teman-temannya, Tri Lestari jelas memahami buku lebih dari sekadar barang. Buku memiliki ceritanya sendiri. Memiliki manfaat dan fungsinya sendiri. Sebagai pustakawan dia harus bisa menjaga dan merawat, menjaga, dan mengatur pengelolaan buku. Tidak dengan asal, ada banyak pelatihan yang harus dia ikuti.

Keuletan dan kesabarannya itu membuat dia mendapatkan penghargaan sebagai pustakawan teladan pada tahun 1994. Keberhasilan ini mengantarnya ke istana Merdeka. Mengikuti pidato kenegaraan Presiden Suharto, dan sederet kegiatan lainnya. Pengalaman yang mengesankan tentu saja. Bahkan, dia pernah berkesempatan berbincang dengan Menteri Pendidikan Ing Wardiman Djojonegoro, saat itu.

Selain Tri Lestari, masih ada pustakawan Unej yang meraih prestasi tingkat nasional. Dia adalah Mahfut, kepala UPTperpustakaan Unej. Ditangannya perpustakaan Unej menjadi salah satu perpustakaan yang paling diperhitungkan di Perguruan tinggi di Indonesia. Semua itu tak lepas dari kerja kerasnya membangun jaringan, infrastruktur dan sumberdaya perpustakaan Unej. “Dulu orang menganggap bagian perpustakaan itu bagian buangan, tapi saya bertekad untuk menunjukan bahwa perpustakaan pun bisa prestasi,” katanya dengan bersemangat.

Mahfut dikenal sebagai orang yang mencintai dunia kepustakawanan. Dengan semangat tak kenal lelah ia terus meningkatkan kemampuan diri. Hal ini ia buktikan dengan kuliah program pasca sarjana bidang kepustakaan di University of New South Wales di Australia dengan konsentrasi bidang Library Science. “Buat saya kalau kita yakin, kita pasti bisa,” kata pria yang gemar membaca buku itu.

Demi membangun perpustakaan Unej, ia tidak main-main. Selepas pulang dari Australia dia mengikuti kompetisi proposal dana hibah bersaing untuk mengembangkan perpustakaan Unej. “Dana dari hibah bersaing itu digunakan untuk membeli DAINIC, software perpustakaan yang hanya Unej di jawa timur yang menggunakannya saat itu,” katanya dengan semangat.

Atas dedikasinya yang tak kenal lelah, pada 2003 kemarin ia diganjar juara 3 pada kompetisi akademisi berprestasi nasional yang diselenggarakan di Jakarta. Kemenangan itu tak diperoleh dengan percuma. Dengan konsep yang cerdas tentang partisispasi perpustakaan dalam pendokumentasian kebudayaan lokal. Mahfut mencetuskan ide bahwa perpustakaan Unej harus menjadi pusat inventarisasi dan dokumentasi kebudayaan tapal kuda. Yang meliputi kebudayaan Pendalungan, Osing dan Tenger.

Sejauh ini kebudayaan tapal kuda yang telah ia kumpulkan meliputi; upacara adat, mantra-mantra, naskah kuno, kuliner khas, pengobatan tradisional, tarian dan lagu rakyat, serta kerajinan rakyat. Ia mengaku dalam melakukan pengumpulan kebudayaan tadi tidak sendiri, namun juga dibantu para pakar kebudayaan Unej seperti Ayu Sutarto dan Latef Wiyata.

Dengan kerja kerasnya selama bertahun-tahun itu ia mengklaim bahwa perpustakaan Unej merupakan pusat dokumentasi dan inventarisasi kebudayaan tapal kuda terbesar di Indonesia. Tak main-main ia pernah menggaet Huub De Jong penulis; Madura Dalam Empat Jaman sebagai usaha untuk mewujudkan cita-cita itu. “Selain De Jong, ada peneliti jepang yang datang kesini untuk belajar tentang budaya tapal kuda,” katanya.

Mahfut sendiri terinspirasi untuk membuat pusat dokumentasi kebudayaan tapal kuda dari perpustakaan yang ada di Australia. Saat itu ia sangat terpukau dengan Aboriginal Collection yang disimpan di State Library of New Southwales. “Saya masih ingat pustakawannya, Allison Crook, sejak saat itu saya terobsesi untuk bikin yang sama di Indonesia,” katanya.

Dengan segala pencapaiannya saat ini pak Mahfud mengaku masih belum puas. Di masa depan ia ingin perpustakaan Unej menjadi salah satu yang terbaik di Indonesia. Hal ini sejalan dengan cita-cita Unej sebagai World Class University.

Sejalan dengan itu ia telah menemukan metode yang sangat efektif yang ia sebut sebagai Library Service Exellence Secret. Dengan metode itu ia harapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan perpustakaan. “Dengan metode itu saya mengharapkan para pustakwan akan bekerja dengan penuh dedikasi.,” katanya dengan penuh harap.

Sayang, nasib pustakawan di mata awam tak lebih dari sekadar penata buku. Padahal, berkat pengetahuan seorang pustakawan, sebuah perpustakaan bisa menjaga koleksinya yang berharga. Menjaga agar ilmu pengetahuan yang tertulis itu tetap bisa dibaca oleh generasi-generasi berikutnya. “Kami bukan hanya sekadar penata buku. Tapi, kami adalah pustakawan. Sebuah profesi yang diakui, bahkan ada pendidikannya,” sambung Wahyudi, salah seorang pustakawan di Perpustakaan Unej

Referensi di kutip dari Kompasiana.com
Share this article :

Posting Komentar