Iklan memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap setiap produk dan jasa. Seperti iklan sabun, pasta gigi, gadget, kartu perdana sampai dengan iklan motor tidak dapat dipungkiri lagi telah menjadi ujung tombak pemasaran setiap produk baru kepada masyarakat luas. Karena kuatnya pengaruh iklan terhadap peningkatan angka penjualan, maka permintaan pasar terhadap iklan di media massa sangat tinggi sekali. Itulah sebabnya harga paket iklan di surat kabar dihitung dengan satuan milimeter dan sentimeter, sedangkan di televisi iklan dijual dengan satuan detik. Melihat kenyataan tersebut, solusi pembinaan minat baca melalui iklan layak dipertimbangkan.
Kita memang pernah melihat beberapa kali muncul iklan pembinaan minat baca di televisi yang disponsori oleh Perpustakaan nasional. Namun belum lama mengudara, iklan tersebut lenyap dari layar kaca dan segera dilupakan orang. Tentu terlalu berat bagi perpustakaan untuk membiayai iklan di surat kabar dan televisi, sementara produk perpustakaan dijual Rp 0 kepada masyarakat dan itupun belum termasuk biaya operasional perpustakaan. Oleh sebab itu, solusi pembiayaan iklan minat baca harus dipikirkan. Demikian juga model iklan di televisi tidak cocok untuk perpustakaan, dengan mempertimbangkan skema pembiayaan yang tidak fair itu. Solusi masalah ini bisa disiasati dengan kreatifitas, dengan penentuan sasaran kreatif, media iklan kreatif, kemasan produk kreatif dan skema pembiayaan kreatif.
Salah satu sasaran dapat difokuskan ke segmen pendidikan dasar, mempertimbangkan acceptability-nya, lokasi sasaran, struktur birokrasi dan sifat/ karakter produknya. Anak-anak usia sekolah menerima setiap ajaran dari gurunya, sehingga dapat dikatakan acceptability-nya tinggi. Lokasi sasaran di sekolah dan tidak berpindah-pindah, mereka mudah dijangkau oleh iklan perpustakaan/ minat baca dan tentu mendapat dukungan otoritas sekolah. Model iklan yang lebih cocok adalah iklan digital melalui jejaring sosial seperti Kompasiana, melalui sekolah (organisasi sekolah), melalui organisasi-organisasi kemasyarakatan.
Model kegiatan kompetisi baca/ tulis antar sekolah perlu digelar oleh setiap perpustakaan Kabupaten dan Kota dengan melibatkan setiap siswa. Sedangkan kemasan “dakwah” minat baca dengan kemasan siraman rohani dengan menyisipkan perintah Tuhan untuk “membaca” dalam Alqur’an perlu dilakukan. Bahkan fatwa MUI tentang kewajiban membaca bagi setiap umat dapat dijajaki dan diusulkan untuk difatwakan. Sedangkan skema pembiayaan bersama antara perpustakaan, perusahaan sekitar lokasi perpustakaan, sekolah, tokoh masyarakat, sponsor ormas, bahkan partai politik harus dijajaki. Misalnya: skema pemasangan iklan minat baca/ perpustakaan (brosur, banner, spanduk dll) di setiap cabang Bank B di kota disepakati, iklan di radio, di setiap kantor DPRD, kelurahan dan kecamatan, sampai ke rumah pak RT dan RW pun sesungguhnya bisa dijadikan etalase iklan minat baca/ perpustakaan. Saya optimis dengan pendekatan yang baik sebagai organisasi nirlaba/ nonprofit organization dan independen, Perpustakaan Umum Kabupaten/ Kota dapat berkembang jauh lebih hebat.
Posting Komentar