AWAL tahun 2012 ini merupakan momen yang sangat penting bagi pustakawan Indonesia, karena pada saat ini topik hangat mengenai sertifikasi pustakawan sudah mulai digodok oleh pemerintah.
Paling tidak profesi pustakawan sudah mendapat tempat di masyarakat dan menjadi agenda bagi pemangku kebijakan. Saya berani mengatakan bahwa pustakawan merupakan sebuah profesi yang sangat prestisius. Pustakawan bisa menjadi tenaga pendidik dalam kiprahnya untuk ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Perpustakaan harus menjadi ruang publik untuk pembelajaran sepanjang hayat.
Saya rasa sudah selayaknya pemerintah memikirkan bahwa kompetensi para pustakawan Indonesia patut mendapatkan apresiasi dengan disertifikasi. Hal ini untuk melindungi profesi pustakawan dan tentunya untuk penjaminan kesejahteraan. Akhir-akhir ini, sosialisasi tentang sertifikasi bagi pustakawan baru dilakukan.
Gebrakan kegiatan bertema sertifikasi melalui berbagai forum gencar diselenggarakan. Para pustakawan Indonesia hendaknya bersyukur, karena walaupun infrastruktur sertifikasi pustakawan belum dilakukan sepenuhnya, namun paling tidak sudah ada ”lampu hijau” untuk mengarah kepada proses sertifikasi. Entah kapan akan diberlakukan, tidak masalah, yang penting bahwa pemerintah sudah mulai memperhatikan dan memikirkan urgensi keberadaan profesi pustakawan di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Tanggal 1 - 7 Desember 2011 telah diadakan diklat calon asesor tahap I yang diikuti 30 peserta perwakilan instansi dari seluruh Indonesia, yang tujuannya untuk menyiapkan tenaga asesor kompetensi pustakawan. Sebagai salah satu persyaratan dalam melakukan uji sertifikasi pustakawan kemudian telah disusun pula Standar Kompetensi Nasional Pustakawan pada sebuah Konvensi Nasional Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI), 12 Januari 2012 yang lalu.
Hal ini tentunya menjadi angin segar dan berkah tersendiri bagi para pustakawan Indonesia. Tahap konvensi sudah terlewati, dan saat ini tinggal menunggu proses persetujuan dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk penetapan menjadi SKKNI bidang perpustakaan. Mudah-mudahan saja segera berlanjut dengan penerapan dan kaji ulang SKKNI.
SKKNI sebagai modal untuk menunjang profesionalitas pustakawan Indonesia dalam mempertahankan eksistensinya. Dalam pengamatan saya, rupanya proses kebijakan sertifikasi kompetensi pustakawan dalam Jabatan Fungsional Pustakawan (JFP) ternyata menimbulkan rasa galau dan membuat resah.
Benarkah rencana sertifikasi kompetensi pustakawan membuat para pustakawan dan calon pustakawan menjadi takut disertifikasi. Kalau memang mampu dan siap, kenapa harus takut? Justru adanya sertifikasi seharusnya menjadi langkah positif dan memotivasi agar menjadi kompeten dalam melayani pengunjung perpustakaan.
Hasil penelitian Khayatun dan Syaikhu (2011) sangat ironis dan memprihatinkan sekali. Ternyata sebanyak 84 % responden belum memahami pengertian sertifikasi pustakawan secara tepat.
Sertifikasi merupakan pengakuan terhadap profesi pustakawan secara formal dengan standar kompetensi minimal yang harus melekat pada profesi. Adanya sertifikasi, maka pustakawan yang bekerja di instansi swasta/non-PNS juga tidak perlu risau, karena sertifikasi kompetensi pustakawan tidak memandang negeri atau swasta, tapi semuanya bisa disertifikasi. Adanya sertifikasi jelas akan menghilangkan dikotomi antara pustakawan PNS dan non-PNS sehingga saya rasa akan lebih adil.
Kompetensi Pustakawan
Sampai dengan Januari 2012 ini, jumlah pustakawan PNS di Indonesia dalam jabatan fungsional sebanyak 3291 orang. Pustakawan tingkat ahli sebanyak 1508 dan tingkat terampil sebanyak 1765. Jika dilihat dari jenjang pendidikan, yang paling banyak adalah tingkat sarjana sebesar 43,57 %. Sementara dari jenjang jabatan fungsional, maka yang paling banyak adalah pustakawan penyelia sebesar 25,74 %.
Dikatakan kompeten manakala memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku sesuai dengan standar yang dipersyaratkan. Di samping juga memiliki kompetensi individu, profesional, dan sosial. Mampu mengembangkan kecerdasan baik IQ, EQ, maupun SQ secara utuh dan seimbang dalam pekerjaannya.
Amanat UU No. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan menyatakan bahwa pustakawan harus memenuhi kualifikasi sesuai dengan Standar Nasional Perpustakaan (SNPerp), yaitu: kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikasi.
Wacana sertifikasi pustakawan rencananya akan dilakukan secara langsung dengan menguji tiap unit kompetensi yang sudah ditetapkan dalam standar kompetensi. Kompetensi yang dimiliki pustakawan Indonesia perlu di-review secara berkala, misalnya setiap 2 tahun. Hal ini karena sertifikasi terhadap kompetensi profesi pustakawan berlaku hanya untuk kompetensi yang dimiliki paling akhir saja.
Pustakawan harus mempunyai moralitas yang tinggi, baik itu diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan interaksi dalam kegiatan ilmiah kepustakawanan. Konsekuensi logisnya, pustakawan harus berbenah. Sertifikasi harus menjadi peluang dan tantangan bagi para pustakawan Indonesia.
Dalam menyongsong sertifikasi kompetensi pustakawan di Indonesia, perlu membangun sinergi antara pihak Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) sebagai organisasi profesi, Jurusan Ilmu Perpustakaan di perguruan tinggi sebagai penyedia lulusan, dan tim asesor yang akan memberikan penilaian terhadap pustakawan.
Saya yakin ke depan sertifikasi kompetensi pustakawan menjadi salah salah satu program yang digulirkan pemerintah. Sertifikasi kompetensi pustakawan akan menjadi bukti atau pengakuan pemerintah terhadap kemampuan pustakawan Indonesia dalam bidang kepustakawanan. Semoga profesi pustakawan Indonesia bisa sejajar dengan profesi lainnya, baik di tingkat nasional maupun internasional. (24)
—Endang Fatmawati MSi MA, Kepala Perpustakaan FEB Undip, dan anggota Pengurus Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI) Jawa Tengah.
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/03/03/179013/Menanti-Sertifikasi-Pustakawan-
Paling tidak profesi pustakawan sudah mendapat tempat di masyarakat dan menjadi agenda bagi pemangku kebijakan. Saya berani mengatakan bahwa pustakawan merupakan sebuah profesi yang sangat prestisius. Pustakawan bisa menjadi tenaga pendidik dalam kiprahnya untuk ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Perpustakaan harus menjadi ruang publik untuk pembelajaran sepanjang hayat.
Saya rasa sudah selayaknya pemerintah memikirkan bahwa kompetensi para pustakawan Indonesia patut mendapatkan apresiasi dengan disertifikasi. Hal ini untuk melindungi profesi pustakawan dan tentunya untuk penjaminan kesejahteraan. Akhir-akhir ini, sosialisasi tentang sertifikasi bagi pustakawan baru dilakukan.
Gebrakan kegiatan bertema sertifikasi melalui berbagai forum gencar diselenggarakan. Para pustakawan Indonesia hendaknya bersyukur, karena walaupun infrastruktur sertifikasi pustakawan belum dilakukan sepenuhnya, namun paling tidak sudah ada ”lampu hijau” untuk mengarah kepada proses sertifikasi. Entah kapan akan diberlakukan, tidak masalah, yang penting bahwa pemerintah sudah mulai memperhatikan dan memikirkan urgensi keberadaan profesi pustakawan di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Tanggal 1 - 7 Desember 2011 telah diadakan diklat calon asesor tahap I yang diikuti 30 peserta perwakilan instansi dari seluruh Indonesia, yang tujuannya untuk menyiapkan tenaga asesor kompetensi pustakawan. Sebagai salah satu persyaratan dalam melakukan uji sertifikasi pustakawan kemudian telah disusun pula Standar Kompetensi Nasional Pustakawan pada sebuah Konvensi Nasional Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI), 12 Januari 2012 yang lalu.
Hal ini tentunya menjadi angin segar dan berkah tersendiri bagi para pustakawan Indonesia. Tahap konvensi sudah terlewati, dan saat ini tinggal menunggu proses persetujuan dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk penetapan menjadi SKKNI bidang perpustakaan. Mudah-mudahan saja segera berlanjut dengan penerapan dan kaji ulang SKKNI.
SKKNI sebagai modal untuk menunjang profesionalitas pustakawan Indonesia dalam mempertahankan eksistensinya. Dalam pengamatan saya, rupanya proses kebijakan sertifikasi kompetensi pustakawan dalam Jabatan Fungsional Pustakawan (JFP) ternyata menimbulkan rasa galau dan membuat resah.
Benarkah rencana sertifikasi kompetensi pustakawan membuat para pustakawan dan calon pustakawan menjadi takut disertifikasi. Kalau memang mampu dan siap, kenapa harus takut? Justru adanya sertifikasi seharusnya menjadi langkah positif dan memotivasi agar menjadi kompeten dalam melayani pengunjung perpustakaan.
Hasil penelitian Khayatun dan Syaikhu (2011) sangat ironis dan memprihatinkan sekali. Ternyata sebanyak 84 % responden belum memahami pengertian sertifikasi pustakawan secara tepat.
Sertifikasi merupakan pengakuan terhadap profesi pustakawan secara formal dengan standar kompetensi minimal yang harus melekat pada profesi. Adanya sertifikasi, maka pustakawan yang bekerja di instansi swasta/non-PNS juga tidak perlu risau, karena sertifikasi kompetensi pustakawan tidak memandang negeri atau swasta, tapi semuanya bisa disertifikasi. Adanya sertifikasi jelas akan menghilangkan dikotomi antara pustakawan PNS dan non-PNS sehingga saya rasa akan lebih adil.
Kompetensi Pustakawan
Sampai dengan Januari 2012 ini, jumlah pustakawan PNS di Indonesia dalam jabatan fungsional sebanyak 3291 orang. Pustakawan tingkat ahli sebanyak 1508 dan tingkat terampil sebanyak 1765. Jika dilihat dari jenjang pendidikan, yang paling banyak adalah tingkat sarjana sebesar 43,57 %. Sementara dari jenjang jabatan fungsional, maka yang paling banyak adalah pustakawan penyelia sebesar 25,74 %.
Dikatakan kompeten manakala memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku sesuai dengan standar yang dipersyaratkan. Di samping juga memiliki kompetensi individu, profesional, dan sosial. Mampu mengembangkan kecerdasan baik IQ, EQ, maupun SQ secara utuh dan seimbang dalam pekerjaannya.
Amanat UU No. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan menyatakan bahwa pustakawan harus memenuhi kualifikasi sesuai dengan Standar Nasional Perpustakaan (SNPerp), yaitu: kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikasi.
Wacana sertifikasi pustakawan rencananya akan dilakukan secara langsung dengan menguji tiap unit kompetensi yang sudah ditetapkan dalam standar kompetensi. Kompetensi yang dimiliki pustakawan Indonesia perlu di-review secara berkala, misalnya setiap 2 tahun. Hal ini karena sertifikasi terhadap kompetensi profesi pustakawan berlaku hanya untuk kompetensi yang dimiliki paling akhir saja.
Pustakawan harus mempunyai moralitas yang tinggi, baik itu diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan interaksi dalam kegiatan ilmiah kepustakawanan. Konsekuensi logisnya, pustakawan harus berbenah. Sertifikasi harus menjadi peluang dan tantangan bagi para pustakawan Indonesia.
Dalam menyongsong sertifikasi kompetensi pustakawan di Indonesia, perlu membangun sinergi antara pihak Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) sebagai organisasi profesi, Jurusan Ilmu Perpustakaan di perguruan tinggi sebagai penyedia lulusan, dan tim asesor yang akan memberikan penilaian terhadap pustakawan.
Saya yakin ke depan sertifikasi kompetensi pustakawan menjadi salah salah satu program yang digulirkan pemerintah. Sertifikasi kompetensi pustakawan akan menjadi bukti atau pengakuan pemerintah terhadap kemampuan pustakawan Indonesia dalam bidang kepustakawanan. Semoga profesi pustakawan Indonesia bisa sejajar dengan profesi lainnya, baik di tingkat nasional maupun internasional. (24)
—Endang Fatmawati MSi MA, Kepala Perpustakaan FEB Undip, dan anggota Pengurus Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI) Jawa Tengah.
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/03/03/179013/Menanti-Sertifikasi-Pustakawan-
Posting Komentar